Terpaksa Mengikuti Asuransi Konvensional


Asuransi-ResSeringkali menjadi dilematis, ketika kita sudah mengetahui bahwa asuransi konvensional mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, namun kita tidak jarang dalam kondisi terpaksa untuk mengikutinya. Hal itu karena asuransi telah menjadi salah satu bentuk muamalah yang beredar dalam masyarakat kita. Asuransi ada dalam komponen-komponen kebutuhan kita, dalam dunia kerja dan juga transaksi jual beli misalnya. Saat membeli suatu barang, tidak jarang secara otomatis telah mengikuti asuransi tanpa kita inginkan. Begitu juga saat kita bekerja di suatu perusahaan, pihak perusahaan pun mendaftarkan kita sebagai karyawannya kepada perusahaan asuransi konvensional. Nah, dalam kondisi ini, apa hukum mengikuti asuransi dan apa yang harus kita lakukan saat kita mendapat hak untuk menerima uang ganti rugi?

Berikut ini kami kutipkan jawaban Syaikhuna Dr. Sa’ad bin Turki al Khatslaan hafidzahullah:

(lebih…)

Adakah Shalat Khusus Untuk Menghilangkan Rasa Gundah?


shalat gundahPertanyaan

Apakah ada shalat untuk menghilangkan rasa gundah, dilaksanakan dua rakaat, lalu berdoa dengan doa, “Allahumma faarijal hammi wa kaasyifal ghammi, ajib da’watii.. (Ya Allah yang menghilangkan rasa gundah dan menghapus rasa sedih, kabulkanlah permohonanku) atau, “Ajib da’watal mudhthar idzaa da’aaka..” (Kabulkanlah permohonan orang yang dalam kesulitan jika ia memohon kepada-Mu)?

Jawaban

(lebih…)

Hukum Membeli Barang-Barang Mewah


sederhanaSebuah pertanyaan disampaikan kepada Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullahu ta’ala: Apakah hukum menjual mobil dan perabot rumah yang mahal?

Jawaban: Dalam hal ini ada keluasan, jika pembeli mampu dan bukan bermaksud untuk berlebih-lebihan serta berbangga diri, akan tetapi menginginkan keindahan, dalam rangka berhias dan ia mampu untuk itu. Karena ia memiliki harta dan kemampuan. Kami tidak mengetahui adanya larangan tentang hal itu. Jika ia membeli mobil yang mewah atau tempat tidur yang bagus, kami tidak mengetahui adanya larangan dalam hal itu. Akan tetapi sikap tawadhu baik. Jika ia tawadhu untuk Allah, memakai barang-barang yang pertengahan saja, maka itu tentu lebih utama. Maksud saya agar ia dapat menyalurkan kelebihan (hartanya) itu untuk sedekah, membantu fakir miskin dan ikut berkonstribusi dalam kegiatan-kegiatan kebaikan.

(lebih…)

Para Ulama Berbicara Tentang Syi’ah Rafidhah


Imam Malik –rahimahullah- (w 179) berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki tempat dalam Islam.” (Sunnah, Al Khallal, 1/493)

Beliau juga pernah ditanya bagaimana menyikapi orang-orang rafidhah, maka ia menjawab, “Jangan berbicara kepada mereka dan jangan bersikap manis, karena mereka semua pendusta.” (Minhaj Sunnah, 1/61)

Al Qadhi Abu Yusuf –rahimahullah- (w 182) berkata, “Saya tidak shalat dibelakang seorang Jahmi, Rafidhi (penganut syi’ah rafidhah) dan qadari (penganut qadariyyah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 4/733)

Imam Syafi’i –rahimahullah- (w 204) berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan pengekor hawa nafsu yang paling berdusta dalam pengakuan dan paling palsu dalam kesaksian melebihi orang-orang rafidah.” (Ibnu Bathah dalam Al Ibanah Al Kubra, 2/545)

(lebih…)

Fatwa Syaikh Dr. Shaleh bin Fauzan Al Fauzan Tentang Liberalisme


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wa barakatuh.

Bagaimana pendapat Anda tentang ajakan kepada pemikiran liberal di negeri-negeri Islam? Ia adalah pemikiran yang mengajak kepada kebebasan, yang tidak ada aturan kecuali undang-undang konvensional, ajakan untuk menyetarakan antara muslim dan kafir dengan alasan pluralisme dan menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan individu yang tidak tunduk pada ikatan-ikatan syariat –sebagaimana perkataan mereka. (lebih…)

Nazar dalam Hati


Pertanyaan: Seseorang berniat dalam hatinya berpuasa selama tujuh hari, akan tetapi ia tidak mampu menyempurnakannya. Apakah ada sesuatu yang wajib atasnya?

Jawaban: Nazar hanya berlaku jika dilafadzkan (diucapkan dengan lisan) dan diniatkan. Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang ia ucapkan dalam hatinya, selama ia tidak memperbuatnya atau mengucapkannya dengan lisan.” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu, orang yang berniat nazar akan tetapi ia tidak mengucapkannya, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya.

Wa billahi at taufik, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyinaa muhammad

[Fatawa Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyyah wa Al Ifta`, vol. 23, hal. 302]

 

Zakat Piutang


Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin–rahimahullah– ditanya tentang piutang yang ada dalam tanggungan orang lain, apakah wajib dizakati?

Beliau menjawab:

– Jika piutang itu ada para orang yang mampu/memiliki keluasan untuk membayar, maka wajib dizakati setiap tahun (haul). Dan pemiliknya boleh memilih antara:

1. Mengeluarkan zakat beserta zakat hartanya, atau,

2. Mengakhirkan zakatnya hingga ia menerima piutang itu, kemudian ia berzakat untuk yang telah lalu. (lebih…)

Shalat Hajat


Begitu banyak pertanyaan tentang shalat hajat. Sebagian kaum muslimin menjadi bingung dengan shalat ini, apakah ia shalat yang disunnahkan atau tidak? Berikut saya akan tulis intisari dari penjelasan yang terdapat pada situs tanya jawab Islam www.islamqa.com:

Terdapat empat riwayat dalam masalah shalat hajat: dua riwayat adalah hadis maudhu (palsu); salah satunya disebutkan bahwa shalat hajat dilakukan dua belas rakaat, yang satunya lagi disebutkan dua rakaat. Riwayat yang ketiga adalah hadis yang lemah sekali (dhaif jiddan), dan riwayat yang keempat adalah hadis dhaif. Pada keduanya disebutkan shalat hajat dilakukan dua rakaat.

Hadis pertama:

Yaitu hadis yang diterima dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

( اثنتا عشرة ركعة تصليهن من ليل أو نهار وتتشهد بين كل ركعتين ، فإذا تشهدت من آخر صلاتك فأثنِ على الله ، وصلِّ على النبي صلى الله عليه وسلم ، واقرأ وأنت ساجد فاتحة الكتاب سبع مرات ، وقل : لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير عشر مرات ، ثم قل : اللهم إني أسألك بمعاقد العز من عرشك ومنتهى الرحمة من كتابك واسمك الأعظم وجدك الأعلى وكلماتك التامة ، ثم سل حاجتك ثم ارفع رأسك ، ثم سلِّم يميناً وشمالاً ولا تعلموها السفهاء فإنهم يدعون بها فيستجاب لهم ) (lebih…)

Menjamak Shalat Karena Hujan


Oleh: Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah-

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan Salam atas Rasul. Pertanyaan: Ketika turun hujan, khususnya pada sore hari, dikumandangan adzan maghrib. Setelah pelaksanaan shalat, kemudian dikumandangkan iqamat untuk shalat Isya untuk menjamak. Hal itu dilakukan agar tidak menyulitkan jamaah shalat karena hujan. Apakah itu boleh, mengingat jaman sekarang sudah berbeda dari jaman dulu. Saat ini segala sesuatunya sudah tersedia seperti transportasi dan yang lain?

Syaikh: Ini adalah rukhshah (keringanan) dari Allah. Maka ketika turun hujan, tidak apa-apa menjamak. Itu adalah rukhshah, sunnah dijamak. Sebagai bentuk kasih sayang kepada manusia, kemudahan dan tidak membuat mereka tersakiti dengan keluar rumah. Jika mereka tidak menjamak, boleh bagi seseorang shalat di rumah. Telah valid dari Nabi bahwa beliau memerintahkan untuk shalat di rumah-rumah ketika turun hujan. Beliau bersabda:

«صلوا في رحالكم»

“Shalatlah di rumah-rumah kalian.” (HR Bukhari: 632, Muslim: 697) (lebih…)

Memakai Pengeras Suara Bagian Luar Masjid Saat Shalat Berjamaah


Kita sering mendengar dari sebagian masjid-masjid kaum muslimin bacaan Al-Quran atau takbir yang terpancar melalui pengeras suara saat mereka melakukan shalat berjamaah. Hal itu baik dilakukan para bulan Ramadhan dalam shalat tarawih, atau diluar bulan Ramadhan dalam shalat-shalat fardhu. Apakah perbuatan tersebut merupakan kebaikan dan maslahat? Mari kita simak pandangan Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan –hafizdahullah- berikut dalam kasus ini. Beliau berkata:

“Dan diantara perkara yang wajib untuk diperhatikan adalah bahwa sebagian imam masjid –semoga Allah memberi petunjuk kepadanya-, suara mereka terpancar ke luar masjid dalam shalat baik di bulan Ramadhan atau di bulan yang lain. Itu dilakukan melalui pengeras suara. Hal itu tidak boleh. Karena merusak ibadah dan mengganggu masjid-masjid sekitar. Yang seharusnya bagi imam adalah membatasi suaranya agar didengar oleh orang-orang yang shalat dibelakangnya saja. Maka wajib membatasinya di dalam masjid saja. Bahkan terkadang terdengarnya suara melalui pengeras suara dalam shalat ini menimbulkan kerusakan yang lain. Yaitu keterlambatan orang-orang yang malas berangkat ke masjid untuk shalat, terutama shalat fajar. Sebagian mereka akan tetap dalam tidurnya hingga mereka mendengar bacaan imam. Maka ia tidak mendapatkan shalat (jamaah), atau tidak mendapatkan sebagian besarnya. Dan sungguh telah banyak terjadi keterlambatan shalat disebabkan hal ini.”

[Dinukil dari Al Khuthab Al Minbariyyah, vol. 2, hal. 380]