Shalat Tarawih

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, wash shalatu was salamu ‘ala nabiyyinaa muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du:

Pengertian shalat Tarawih

Tarawih secara bahasa berasal dari kata “tarwiihah” yang artinya membuat nyaman atau istirahat. Disebut tarawih karena orang-orang yang melakukannya memanjangkan berdiri dan melakukan istirahat setiap empat rakaat.”[1] Ibnu Hajar berkata, “Tarawiih bentuk jamak dari “tarwiihah”, ia adalah marroh wahidah (mashdar marroh) dari “raahah”, seperti kata “tasliimah” dari “salaam”. Istilah ini dipakai untuk nama shalat berjamaah di malam-malam bulan Ramadhan. Karena orang-orang yang melaksanakannya pada pertama kali mereka berkumpul untuk melakukannya, mereka beristirahat setiap dua salam (empat rakaat).”[2]

Maka, shalat tarawih adalah shalat malam yang dilakukan selama bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bangkit untuk shalat pada bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni baginya dosa yang telah ia lakukan.”[3] Imam An-Nawawi berkata, “Yang dimaksud shalat pada bulan Ramadhan adalah shalat tarawih.”[4] Al-Khathib Asy-Syarbiny dan yang lainnya berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih adalah shalat yang dimaksud dalam hadis diatas.”[5]

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah sunnah baik untuk laki-laki atau perempuan[6]. Imam Nawawi berkata, “Para ulama sepakat atas sunnahnya.”[7] Syaikhul Islam berkata, “Disunnahkan tarawih di bulan Ramadhan dengan kesepakatan salaf dan para ulama kaum muslimin. Disebut juga qiyam Ramadhan. Dilaksanakan pada awal malam; karena orang-orang dahulu melakukannya di awal malam di zaman Umar. Tidak sah dilakukan sebelum Isya. Dan jika terbit waktu fajar, maka waktunya telah habis dengan kesepakatan.”[8]

Sebagian ulama bahkan menyatakan hukumnya sunnah muakkadah. Ia adalah madzhab Hanbaly, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah. Diriwayatkan oleh Asad bin Amr dari Abu Yusuf, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang tarawih dan apa yang dilakukan Umar” beliau menjawab, “Tarawih sunnah mu’akkadah, dan Umar tidak membuat-buatnya dari dirinya sendiri, tidak juga ia dalam hal itu pembuat bid’ah. Ia tidak memerintahkannya melainkan ada dalil disisinya dan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9] Ulama Malikiyyah berkata, “tarawih sunnah muakkadah.”[10]

Dalil Disyariatkannya

Ada beberapa dalil dari As-Sunnah atas disyariatkannya shalat tarawih. Diantaranya:

Pertama:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ وَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ « قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْكُمْ ». وَذَلِكَ فِى رَمَضَانَ.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam shalat di masjid. Maka sekelompok orang ikut shalat bersamanya. Kemudian beliau shalat kedua kalinya. Maka orang yang ikut shalat semakin banyak. Kemudian orang-orang berkumpul pada kali yang ketiga atau keempat. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar kepada mereka. Hingga esok harinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat apa yang telah kalian lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan karena sesungguhnya aku takut diwajibkan kepada kalian.” Dan itu terjadi di bulan Ramadhan.”[11]

Kedua:

عن أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bangkit untuk shalat pada bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni baginya dosa yang telah ia lakukan.”[12]

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Kami shaum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan dan beliau tidak shalat bersama kami pada bulan itu. Hingga tersisa tujuh hari lagi, beliau shalat bersama kami sampai habis sepertiga malam. Pada hari ke enam, beliau tidak shalat bersama kami. Pada hari ke lima beliau kembali shalat bersama kami sampai habis setengah malam. Kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah, andai engkau mensunnahkan bagi kami shalat malam ini.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya seseorang jika ia shalat bersama imam hingga imam itu pergi, dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk.” Pada hari ke empat beliau tidak shalat, dan pada hari ke tiga beliau mengumpulkan keluarga, istri dan orang-orang kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir kehilangan falah. Rawi berkata, aku berkata, apakah yang dimaksud dengan falah? Ia berkata, “ia adalah sahur.” Kemudian beliau tidak lagi shalat bersama kami pada sisa bulan.”[13]

Shalat Tarawih Berjamaah

Disyariatkan shalat tarawih berjamaah. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah yang utama dilakukan secara berjamaah atau sendiri (munfarid).

Imam Nawawi berkata, “Mereka berbeda pendapat apakah yang utama melaksanakannya di rumah secara munfarid atau berjamaah di masjid. Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian Malikiyyah dan yang lainnya berkata, “Yang utama adalah melakukannya secara berjamaah sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dan para sahabat. Dan kaum muslimin terus-menerus melakukannya. Karena ia termasuk syiar-syiar Islam yang nampak. Maka ia mirip dengan shalat Ied.” Adapun Ath-Thahawy berlebihan dengan mengatakan bahwa shalat tarawih adalah fardhu kifayah.

Imam Malik, Abu Yusuf dan sebagian Syafiiyyah berpendapat bahwa yang utama adalah shalat secara sendiri-sendiri di rumah sesuai sabad Nabi, “Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya.” (muttafaq ‘alaih)”[14]

Hadis Aisyah dan Abu Dzar di atas adalah diantara dalil pendapat yang pertama. Bahwa Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat berjamaah bersama para sahabat, kemudian meninggalkannya karena ada penghalang, yaitu khawatir amal itu diwajibkan kepada kaum muslimin. Dan dengan meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hilanglah penghalang tersebut.

Selain itu, dihikayatkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau adalah orang pertama yang kembali mengumpulkan kaum muslimin di zamannya untuk melakukan shalat berjamaah dalam satu imam. Kemudian amal itu terus menerus dilakukan oleh kaum muslimin sampai saat ini.

Imam Bukhari berkata:

وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال : خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم قال عمر نعم البدعة هذه والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

“Dan dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin Az-Zubair, dari Abdurrahman bin Abdul Qaary, ia berkata, “Aku keluar bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid. Kami mendapati orang-orang terpencar-pencar. Ada yang shalat sendiri dan ada yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang kurang dari sepuluh. Maka Umar berkata, “Aku memandang jika aku mengumpulkan mereka dalam satu imam maka itu lebih baik.” Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka atas Ubay bin Ka’ab. Aku kemudian keluar pada malam berikutnya dan melihat mereka semua shalat dengan shalat qari mereka (berjamaah). Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, dan yang tidur darinya lebih utama dari yang mengerjakannya –maksudnya pada akhir malam- dan waktu itu orang-orang melakukannya pada awal malam.”[15]

Apa yang dilakukan Umar diantara hujjah yang bisa dijadikan sandaran atas utamanya shalat tarawih secara berjamaah karena Umar termasuk Khulafa Rasyidin. Dan Rasulullah memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnah Khulafa Rasyidin. Begitu juga apa yang dilakukan Umar ini disepakati oleh para sahabat yang lain di zamannya. Serta kaum muslimin dari sejak saat itu terus menerus melakukan amal tersebut sampai sekarang. Maka, pendapat yang pertama adalah pendapat yang kuat, yaitu bahwa yang utama adalah shalat tarawih secara berjamaah.

Ibnu Bathtahal berkata, “Qiyam Ramadhan (berjamaah) adalah sunnah. Karena Umar mengambilnya dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa Nabi meninggalnya karena khawatir pewajiban.”[16]

Jumlah Rakaat

Para ulama berselisih pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih ke dalam beberapa pendapat.

Pendapat pertama:

Jumhur fukaha di kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanbaliyyah dan sebagian malikiyyah berpendapat bahwa jumlah shalat tarawih adalah dua puluh. Dasarnya adalah riwayat dari Malik, dari Yazid bin Ruman dan riwayat Al Baihaqi dari As Saa`ib bin Yazid tentang shalat kaum muslimin di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu yang dilakukan dengan dua puluh rakaat. Umar mengumpulkan mereka dengan jumlah ini.

Namun riwayat lain mengatakan bahwa rakaat di zaman Umar adalah sebelas. Sebagian ulama mengkompromikan kedua riwayat itu dengan, bahwa pada awal mulanya shalat dilakukan sebelas rakaat dengan bacaan yang panjang. Imam membaca dua ratus ayat per rakaat. Hingga disebutkan bahwa mereka bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri dan tidak keluar dari masjid kecuali menjelang fajar. Tatkala orang-orang menjadi lemah Umar memerintahkan untuk melaksanakannya dengan dua puluh tiga rakaat namun dengan meringankan bacaan. Maka sebagian keumataannya dapat tercover oleh jumlah rakaat.[17]

At-Tirmidzi mengatakan, “Mayoritas para ulama diatas apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan yang lainnya dari sahabat Rasulullah dua puluh rakaat.”

Pendapat kedua:

Imam Malik berpendapat jumlahnya tiga puluh enam tidak termasuk witir.

Pendapat ketiga:

Sebagian ulama berpendapat jumlah rakaatnya adalah sebelas dan tidak boleh lebih dari jumlah tersebut. Sesuai dengan zahir hadis yang diterima dari Aisyah:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ « تَنَامُ عَيْنِى وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى »

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa ia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, beliau berkata, “Rasulullah dahulu tidak pernah menambah rakaat baik di bulan Ramadhan atau selainnya. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan engkau tanya tentang panjang dan bagusnya. Kemudian shalat empat rakaat, dan jangan engkau tanya tentang panjang dan bagusnya. Kemudian shalat tiga rakaat. Kemudian aku bertanya, “Wahai Rasulullah engkau tidur sebelum shalat witir?”, beliau bersabda, “Kedua mataku tidur akan tetapi hatiku tidak tidur.” [18]

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al Albany dalam risalahnya “Qiyaam Ramadhan”. Beliau juga berpendapat tidak boleh shalat lebih dari sebelas rakaat. Karena hanya jumlah itulah satu-satunya yang valid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun Syaikh Bin Baz dan ulama yang lain berpendapat bolehnya lebih dari sebelas rakaat. Akan tetapi jika dilakukan sebelas atau tiga belas lebih utama.[19]

Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyangka bahwa qiyam Ramadhan dibatasi jumlahnya dari Nabi, tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka ia telah salah.”[20]

Beliau juga berkata, “Dan tarawih jika dilakukan seperti madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad; dua puluh rakaat, atau seperti madzhab Malik; tiga puluh enam, atau tiga belas atau sebelas maka itu semua baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad karena tidak adanya batasan. Maka banyak atau sedikitnya rakaat tergantung keadaan.[21]

Diantara dalil yang berpendapat bahwa jumlah rakaatnya tidak dibatasi adalah hadis yang diterima dari Ibnu Umar,

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى ».

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat malam, beliau bersabda, “Shalat malam itu adalah dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang diantara kalian khawatir masuk subuh, maka shalat lah satu rakaat untuk mewitirkan shalat yang telah ia lakukan.”[22]

Hadis ini dalil bahwa shalat malam dilakukan tanpa batas jumlah rakaat, dan shalat tarawih tidak diragukan lagi adalah termasuk shalat malam.

Pendapat bolehnya lebih dari sebelas rakaat adalah pendapat imam yang empat. Perkara yang membuat mereka berpendapat demikian karena mereka memandang bahwa riwayat Aisyah tentang sebelas tidak mengkonsekwensikan batasan. Ditambah lagi bahwa lebih dari sebelas banyak diriwayatkan dari salaf.[23]

Akan tetapi, yang lebih utama adalah mengamalkan apa yang diamalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebelas rakaat.

Tata cara shalat tarawih 

Shalat tarawih dilakukan dengan dua rakaat, dua rakaat. Artinya melakukan tasyahhud dan salam setiap dua rakaat. Sesuai sabda Nabi diatas, “Shalat malam itu dua, dua…” Dan tarawih adalah termasuk shalat malam. Dalil yang lain atas permasalahan ini adalah hadis yang diterima dari Aisyah, “Rasulullah biasa shalat antara isya dan fajar sebelas rakaat, beliau melakukan salam setiap dua rakaat, kemudian shalat witir satu rakaat…”[24]

Adapun hadis Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalat empat rakaat, kemudian empat rakaat, kemudian tiga rakaat, maksudnya adalah bahwa Rasulullah melakukan istirahat setelah menyelesaikan empat rakaat karena shalat beliau adalah shalat yang panjang.

Begitulah mayoritas ulama memahami hadis Aisyah diatas. Dan ini adalah yang paling benar, karena mereka menempuh metode jama’ (mengkompromikan dua dalil) dalam mencermati dua dalil yang zahirnya bertentangan. Mereka menafsirkan hadis-hadis yang bersifat global dengan hadis yang rinci. Sebuah kaidah dalam fikih mengatakan, “i’maalu daliilaini, khairun min ilghaa`i ahadihimaa.” Mengamalkan dua dalil adalah lebih baik dari pada membuang salah satunya.

Atas dasar hadis, “Shalat malam itu dua, dua..” para ulama madzhab Syafi’i menganggap bahwa jika shalat tarawih dilakukan dengan empat rakaat satu kali salam, maka shalat tarawihnya tidak sah dan berubah menjadi shalat mutlak. Sebagiannya berpendapat makruh.[25]

Sebagian para ulama mengambil jalan tengah, yaitu berpendapat bolehnya shalat tarawih dengan formasi empat empat tiga, dengan salam setiap empat rakaat. Dan menganggap bahwa itu adalah salah satu cara Rasulullah melakukan shalat malam. Akan tetapi melakukannya dua-dua lebih utama.[26]

Wallahu ‘alam, wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad. 

Abu Khaleed Resa Gunarsa –

Subang, 1 Ramadhan 1342 H


[1] Al-Maushu’ah Al-Kuwaitiyyah, vo. 27, hal. 135
[2] Fathul Al-Baary: vol. 4, hal. 250
[3] HR Bukhari Muslim
[4] Syarh Muslim An Nawawi, vol, 6, hal. 36
[5] Al-Maushu’ah Al-Kuwaitiyyah, vol. 27, hal. 137
[6] Fiqh As-Sunnah, Sayyid As-Sabiq, vol. 1, hal. 145
[7] Syarh Muslim, vol. 6, hal. 39
[8] Taudhiih Al-Ahkam, vol. 2, hal. 415
[9] Lihat: Fathu Al Qadiir: 1/333, Al Ikhtiyaat: 1/68-69, Al Mughny: 2/166, Al Muntaqaa: 1/207 (Al Maushuu’ah Al-Kuwaitiyyah, vol. 27, hal. 138)
[10] Idem. Hal. 139
[11] HR Bukhari: 1129, Muslim: 761
[12] HR Bukhari: 2009, Muslim: 1815
[13] HR Abu Dawud: 1377, At-Tirmidzi: 806, An Nasai: 1372, Ibnu Majah: 1347, Musnad Ahmad: 6/160 (20910)
[14] Syarh Muslim: vol. 6, hal. 39
[15] Shahih Al Bukhari (2010): vol. 2 hal. 60
[16] Farhul Baary: 6: 292
[17] LIhat Al Maushu’ah Al Kuwaitiyyah, vo. 27, hal 142, Lihat juga “Qiyaam Ramadhan”, Syaikh Al Mu’allimy, hal. 57-58
[18] HR Bukhari: 2013, Muslim:
[20] Majmuu Al Fatawi: 22/272 (Maushu’ah Al Kuwaitiyyah, vol. 27, hal. 144)
[21] Al Ikhtiyaarat, hal. 64
[22] HR Bukhari: 946, Muslim: 749
[23] Lihat: http://www.islamqa.com/ar/ref/9036 lihat juga “Fathul Baary”
[24] HR An Nasaai: 1649, Ibnu Hibban: 2472
[25] Lihat Al Maushu’ah Al Kuwaitiyyah, vol. 27, hal. 145

[26] LIhat Nail Al Authar, vol. 3, hal. 39, cet. Al Halaby. Lihat juga “majalis Ramadhan”, Syaikh Muhammad Al Utsaimin.

Pos Berikutnya
Tinggalkan komentar

2 Komentar

  1. Admin Perisai Islam

     /  Agustus 7, 2011

    Bismillah ..
    Assalamu’alaykum …
    kunjungan nih ustadz ..tulisannya abah copas ya di http://www.abahnajibril.wordpress.com

    Balas
  2. Waalaikumsalam warahmatullah..
    Silahkan bah, mudah-mudahan bermanfaat..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: